Oleh :
Nisya Ulmiah
FKIP Fisika 2011 Universitas Sriwijaya
Judul Buku :
Snow Flower
Nama Pengarang : Lisa See
Nama Penerbit : qanita
Tempat Terbit : New York
Penerjemah : A. Rahartati Bambang Haryo
Cetakan : I, Juni 2006
Tebal : 10 + 556 hlm
Harga : Rp. 66.000,-
Tebal : 10 + 556 hlm
Harga : Rp. 66.000,-
Buku
Snow Flower ini di tulis karena ketertarikan Lisa See terhadap Nu-shu dan
budaya yang melatarbelakangi nya. Sebelumnya Lisa See dikenal di Indonesia atas
bukunya Liu Hulan (Jaring-jaring Bunga) yang diterbitkan juga oleh Qanita tahun
2006. Organisasi wanita Cina menyebut Lisa See sebagai Wanita Nasional Tahun
2001. Sekarang dia tinggal di Los Angeles.
Novel ini sarat akan kebudayaan cina namun subjek nya lebh terfokus kepada wanita. Kisah ini ditulis dengan gaya memoar seorang wanita berusia 80 tahun yang bernama Lily, yang menceritakan pengalaman hidupnya bersama Bunga Salju sebagai laotong, alias "kembaran sehati"nya. Lily memulai kisahnya pada 1828, ketika dia berusia 5 tahun dan tinggal di desa Puwei, di Barat daya Cina. Kebebasan masa kecilnya tiba-tiba terampas ketika dia harus menjalani pengikatan kaki, sebuah tradisi menyakitkan yang harus dilalui oleh para wanita Cina agar memperoleh status yang terhormat.
Kaki Lily kecil mungil diikat
sedemikian rupa, sehingga pertumbuhannya terhambat dan tulang-tulang telapak
serta jari kaki remuk dan akhirnya membentuk profil bunga lili emas. Kaki yang
berbentuk Bunga Lili Emas adalah simbol kehormatan wanita Cina, karena wanita
yang kakinya tidak diikat atau berkaki lebar adalah wantia `rendahan' yang
hanya pantas dijadikan pelayan atau `menantu kecil' yang tak berharga.
Tersebutlah seorang mak comblang
bernama Madam Wang, yang berkunjung dan menawarkan suatu perjodohan bagi Lily.
Bukan perjodohan untuk memperoleh seorang suami, melainkan perjodohan `laotong'
atau `kembaran sehati', perjodohan yang dilakukan antar sesama jenis untuk memperoleh
sahabat sejati yang tidak akan terpisahkan bahkan oleh perkawinan sekali pun.
Lily mendapatkan Bunga Salju sebagai kembaran sehatinya.
Komunikasi pertama yang dilakukan
oleh Lily dan Bunga Salju sebagai sepasang laotong adalah melalui sebuah kipas
yang berisi tulisan nu shu. Kipas inilah yang kelak menjadi semacam jurnal
kehidupan mereka. Dari berbagai kesamaaan yang dimiliki sepasang laotong ini,
perbedaan mereka terletak pada status sosial. Lily berasal dari keluarga petani
sederhana, sementara Bunga Salju berasal dari keluarga terpendang dan
terpelajar. Tetapi, perbedaan ini justru membuat mereka saling melengkapi. Dari
Bunga Salju, Lily belajar tentang kaligrafi, menulis nu shu, berperilaku
sebagai orang terhormat, dll. Sedangkan dari Lily, Bunga Salju belajar banyak
hal mengenai kegiatan rumah tangga seperti mengepel, membuat teh, memetik
sayuran, menyediakan hidangan bagi keluarga, dll. Mereka pun selalu
berkomunikasi melalui sebuah kipas sutera bertuliskan nu shu. Anehnya, walau
Bunga Salju kerap berkunjung ke rumah Lily, tak sekali pun Lily diberi
kesempatan untuk berkunjung ke rumah Bunga Salju.
Ketika
Bunga Salju dan Lily telah berusia 11 tahun dan kaki mereka telah membentuk
bunga lili yang indah, mereka pun
masing-masing dijodohkan. Lily dijodohkan dengan anak kepala desa Tongkou yang
memiliki reputasi sebagai keluarga terpelajar sekaligus dihormati oleh
masyarakatnya, sedangkan Bunga Salju dijodohkan dengan anak seorang tukang jagal.
Sungguh aneh dan ironis!
Empat tahun kemudian Lily menikah.
Hari keempat setelah pernikahan, pengantin wanita diperbolehkan mengunjungi
desa kelahirannya. Namun, alih-alih kembali menemui orang tuanya, Lily
mengunjungi Bunga Salju. Ini adalah kunjungan pertamanya setelah bertahun-tahun
mereka menjadi sepasang laotong. Melalui kunjungan inilah akhirnya terungkap
siapa sebenarnya Bunga Salju, dan mengapa selama ini Lily tidak diberi
kesempatan untuk mengunjungi rumahnya.
Tetapi, bukan kebenaran jati diri Bunga Salju yang mengubah janji setia mereka sebagai sepasang laotong. Persahabatan mereka tak tergoyahkan, hingga akhirnya tibalah sebuah nu shu dari Bunga Salju. Isi pesan tersebut membuat hati Lily terluka dan persahabatan mereka sebagai sepasang kembaran sehati seketika hancur. Kekecewaan dan perasaan dikhianati oleh laotongnya membuat Lily menutup hatinya terhadap Bunga Salju.
Tetapi, bukan kebenaran jati diri Bunga Salju yang mengubah janji setia mereka sebagai sepasang laotong. Persahabatan mereka tak tergoyahkan, hingga akhirnya tibalah sebuah nu shu dari Bunga Salju. Isi pesan tersebut membuat hati Lily terluka dan persahabatan mereka sebagai sepasang kembaran sehati seketika hancur. Kekecewaan dan perasaan dikhianati oleh laotongnya membuat Lily menutup hatinya terhadap Bunga Salju.
Bertahun lamanya mereka tak lagi
saling bertemu atau bertukar kabar hingga akhirnya sebuah tragedi mengungkap
kebenaran yang selama ini tertutup oleh perasaan benci.
Novel keempat Lisa See ini
menyuguhkan cerita yang dramatis dan berpotensi membuat emosi pembacanya
tersentuh karena novel ini banyak mengungkap kepedihan dari kehidupan para
tokohnya, namun bukan berarti novel ini menjadi novel yang cengeng karena
melalui para tokohnya pula akan tercermin ketegaran mereka dalam menghadapi
penderitan baik dari kukungan tradisi maupun dari berbagai peristiwa pahit yang
harus mereka lalui.
Selain menyajikan cerita yang
menyentuh dan plot yang enak diikuti, Snow Flower juga sarat dengan budaya Cina
pada abad ke-19, khususnya mengenai kehidupan kaum wanitanya, yang ditampilkan
melalui penggambaran tradisi pengikatan kaki, nu shu, upacara perjodohan hingga
pernikahan, serta kehidupan keseharian para wanita Cina dalam menjalani siklus
hidupnya mulai kecil hingga masa tuanya. Pembagian novel ini pun terbagi dalam
siklus kehidupan wanita Cina, seperti Hari-hari Anak Gadis, Hari-hari Jepit
Rambut, Hari-hari Beras dan Garam, dan Hari-hari Duduk dalam Keheningan.
Salah satu hal yang paling menarik
dalam novel ini adalah penggambaran mendetail tradisi pengikatan kaki.
"Hanya melalui rasa sakit kaudapatkan kecantikan. Hanya melalui
penderitiaan kaudapatkan kedamaian", demikian makna filosofis dari tradisi
ini. Mungilnya kaki seorang wanita, kelak akan ditunjukkan sebagai bukti kepada
calon mertua dan ipar tentang kekuatan dalam pengendalian diri, serta kemampuan
untuk menahan penderitaan dalam persalinan.
Sikap dan pandangan hidup masyarakat
Cina abad ke-19 terhadap kaum wanita pun tergambar dengan jelas dalam novel
ini. Wanita Cina hidup dalam kukungan tradisi. Setelah menjalani pengikatan
kaki, hidup mereka dihabiskan di ruang atas dan dapur yang terpisah dari kaum
lelaki. Di sana, mereka harus belajar berbagai ketrampilan seperti membordir,
membuat sepatu, juga menyiapkan mahar perkawinan mereka. Setelah menikah,
mereka harus hidup melayani suami, mertua hingga ipar-iparnya. Tugas terberat
mereka adalah melahirkan anak laki-laki sebagai penerus keluarga suami. Jika
tidak berhasil, mereka akan disisihkan dan dapat digantikan posisinya
sewaktu-waktu. Hal tersebut terjadi karena dalam budaya Cina saat itu,
melahirkan anak laki-laki adalah fondasi bagi harga diri wanita sekaligus
mahkota kemuliaan bagi seorang wanita.
Masih banyak tradisi-tradisi dan kultur
masyarakat Cina abad 19 yang akan terungkap dalam novel ini. Walau sarat dengan
paparan budaya Cina yang eksotis, novel ini tidaklah membosankan. Secara
piawai, Lisa See meramu unsur-unsur tersebut menjadi sebuah cerita dan paparan
budaya terjalin dengan cantik. Hasilnya adalah sebuah novel yang indah dan
menyentuh. Beberapa pujian atas novel ini menyatakan bahwa novel inilah karya
terbaik dari Lisa See. Tak heran jika novel ini bertengger dalam jajaran daftar
New York Time Bestseller sepanjang tahun 2005 hingga kini.
Lisa See, penulis Amerika keturunan
Cina yang relatif masih muda ini rupanya berhasil mencari dan mengangkat
"akar" budaya leluhurnya. Riset dan perjalanannya hingga ke
daerah-daerah terpencil di Cina tidaklah sia-sia. Sebuah novel yang tampaknya
akan terus dikenang dan menjadi sebuah karya klasik ini adalah buah dari
usahanya mencari dan mengangkat budaya leluhurnya yang mungkin sudah
terlupakan, tergerus oleh putaran waktu dan hanya dapat ditemui dalam
literatur-literatur budaya yang mungkin tak terbaca oleh generasi masa kini.
Kini, Lisa See meyuguhkannya dalam
balutan fiksi yang menawan hingga dapat terbaca oleh masyarakat luas, bukan
sekadar untuk menampilkan eksotisme budaya Cina masa lampau melainkan supaya
pembacanya memahami dan mengambil nilai-nilai kehidupan dari budaya masa lampau
dari suatu bangsa yang dikenal telah memiliki sejarah yang sangat panjang.
0 komentar:
Posting Komentar